JAKARTA | Citranewsindonesia.com — Sebanyak belasan warga Cipinang Melayu tetap semangat mencari keadilan dengan menghadiri sidang gugatan sengketa tanah milik dengan TNI Angkatan Udara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin, (29/6/2020).
Menurut Kuasa hukum warga, Farisal Syarief, SH. MH, Mintarno, SH. dan S. Santoso, SH.MM sengketa tanah girik milik warga tersebut sudah sejak puluhan tahun lalu berproses hukum dengan berbagai tingkatan semua memutuskan warga dimenangkan atas sengketa tanah melawan TNI AU.
Namun lanjut Farisal Syarief, SH, MH, pihak TNI AU tetap mempertahankan tanah seluas kurang lebih 4 hektar yang terdiri dari 511 girik bahkan terakhir tak mau menjalankan hasil keputusan Mahkamah Agung (MA).
“Sidang di PN Jakarta Timur merupakan lanjutan perlawanan warga dalam perkara tanah yang sudah berlangsung panjang dengan pihak Angkatan Udara yang bermarkas di Halim Perdanakusuma,” jelas Farisal.
Namun TNI AU mengklaim jika lokasi pembangunan kereta api cepat yang saat ini dipermasalahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari lokasi yang digunakan untuk pembangunan fasilitas bandara Halim.
Namun, sebagian lokasi, terutama di Tanah Galian dibiarkan terlantar puluhan tahun hingga mengundang warga untuk menempati dan menggarapnya secara bebas.
Salah satu warga Nenek Tiwi mengaku perjuangan keluarganya tak pernah putus asa sejak suaminya masih hidup dan anaknya sampai sekarang sudah berumahtangga tetap dilakoninya ada sekitar 4 hektar tanah giriknya diklaim TNI AU.
“Saya tetap menuntut hak saya dalam mencari rasa keadilan terutama rakyat kecil seperti kami ini. Saya mohon para hakim terketuk hati nuraninya membela kami yang sedang terdzolimi,” ungkap Nek Tiwi sedih.
Sebagian warga bertahan di lokasi dan lainnya sudah terpencar ke wilayah pinggir, terutama sejak keributan tahun 1980. Ini tanah konflik antara warga dengan pihak Angkatan Udara,” ujar Mintarno SH luas hukum warga lainnya.
Mintarno, SH mengatakan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 341 /Pdt.Plw/2015/PN.JKt.Tim mengadili dan dalam Eksepsi menyatakan Eksepsi Terlawan Tidak dapat diterima.
Dalam Pokok Perkara menyatakan perlawanan Pelawan tidak dapat diterima dan menghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.722.000,- (satu juta tujuh ratus dua puluh dua ribu rupiah).
“Setelah putusan Kasasi Mahkamah Agung, warga mengajukan eksekusi namun pihak Tergugat mengajukan gugatan Perlawanan dan Putusan perlawanan tidak dapat diterima,” ujarnya.
Lebih anehnya kata Mintarno, SH, pihak AU mengajukan PK tanpa menunjukan bukti baru dan hasil keputusannya tidak diterima oleh hakim.
Bahkan warga semakin berani setelah mengikuti berbagai perkara di pengadilan, pihak Angkatan Udara tidak pernah memperlihatkan bukti kepemilikan secara tegas, kata Mintarno, SH.
Dari rentetan proses hukum sebelumnya di Pengadilan Jakarta Timur maupun penelusuran dokumen sidang yang dipublikasi Mahkamah Agung, minimal ada tiga pihak yang secara serius berpekara dengan pihak Angkatan Udara. Pertama, warga yang menguasakan perkara kepada pengacara Jaberlin Lumban Gaol. Kelompok ini mengakui memiliki bukti 511 girik yang mulai mengajukan gugatan sejak 2011.
Gugatan itu menyasar tanah yang diakui sebagai TNI AU ini. Di pihak warga, mereka mengakui tanah itu adalah hak milik adat yang didaftarkan tahun 1937, dengan pajak tahun 1938. Lahan sebanyak 511 girik, demikian warga, diambil paksa berupa sawah dan kebon buah dan rumah sebanyak 1.600 lebih. Konon, mereka diusir tanpa perikemanusiaan.
Sesuai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) tanggal 4 Agustus 2014, TNI diminta mengembalikan surat girik asli 511 lembar dan semua surat-surat yang diambil TNI-AU untuk dikembalikan melalui kuasa Jaberlin Lumban Gaol.
Jaberlin telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), dengan tergugat Pemerintah RI cq Menteri Pertahanan RI sebagai tergugat I, Pemerintah RI cq Menteri Pertahanan RI cq Panglima TNI sebagai tergugat II, Pemerintah RI cq Menteri Pertahanan RI cq Panglima Pertahanan RI cq Kepala Staf TNI Angkatan Udara sebagai tergugat III dan Pemerintah RI cq Menteri Keuangan RI sebagai tergugat IV.
Pengadilan memenangkan pihak Jaberlin Lumban Gaol dengan perkara No. 46/Pdt.G/2011/PN Jkt Tim. Namun pihak TNI AU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI dengan perkara No. 62/Pdt/2012/PT. Dalam sidang tersebut, lagi-lagi pihak TNI AU sebagai tergugat kalah.
Belum berhenti di situ, pihak TNI AU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan perkara No. 3442 K/Pdt/2012, namun lagi-lagi pihak TNI AU kalah. Bahkan, tahun 2015, ada penetapan eksekusi PN Jaktim No.21/2015 Eks Jo 46/Pdt.G/2011/PN Jkt Tim.
Tentu saja pihak TNI AU tidak tinggal diam. Terutama ketika mengetahui lahan tersebut akan dipakai untuk sebuah megaproyek. Sebagai tergugat, pihak TNI AU mengajukan PK (Peninjauan Kembali)yang ditangani hakim H. Panji Widagdo, Ibrahim, dan Soltoni Mohdali dengan Panitera Pengganti Nini Ev Yustina dalam perkara No: 731 PK/Pdt/2016. Peninjaun Kembali itu dikabulkan, kendati dari dokumen persidangan tidak terang benderang apa novum atau bukti baru yang diajukan.
Yang pasti putusan PK yang dikeluarkan pada 10 Januari 2017 dengan amar putusan gugatan tidak dapat terima. Tentu saja keputusan ini menjadi kekuatan bagi pelaksana proyek dilapangan seperti KCIC dan PSBI untuk memulai pembebasan lahan. “Kami sudah diserahkan oleh pihak Angkatan Udara,” ujar manajemen PSBI yang dipimpin oleh Natal Pardede dalam dialog antara warga yang diinisiasi oleh Polres Jakarta Timur pada Juli 2019.
Saat itu, pihak Polres turun tangan mengingat situasi di lapangan tidak kondusif. Pernah terjadi pemukulan oleh warga terhadap sesama warga lain yang sehari-hari bertindak dengan klaim mewakiki PSBI dan PT Wijaya Karya.
Kelompok kedua yang juga melakukan gugatan adalah sejumlah warga yang mempercayakan pembelaan pada Pengacara Tommy Sihotang. Kelompok ini mulai menggunakan jalur pengadilan karena dialog dengan pihak PSBI tidak pernah menemui kesepakatan.
“Selama ini mereka hanya bersedia membayar ganti rugi rumah, lalu bagaimana dengan tanah? Apakah garapan selama hampir 20 tahun tidak diperhitungkan?”, ujar Hutajulu yang menjadi Ketua dalam kelompok ini.
Seperti yang diakui oleh kuasa Hukum Tommy Sihotang, yang menjadi dasar gugatannya adalah soal hak garapan. “Kami tidak peduli dengan pemilik tanah, yang kami perjuangkan adalah hak garapan yang sudah dilakukan oleh warga sekian lama,” ujarnya. Pihak Tomy Sihotang saat ini masih menjalani sidang di Pengadilan Jakarta Timur.
Perjuangan Tommy berdasarkan pada Pergub DKI nomor 290/2014 yang mengatur pembebasan lahan untuk kepentingan umum, dimana penggarap minimal mendapatkan nilai 25% dari harga tanah secara wajar atau nilai jual obyek pajak (NJOP).
Dalam penelusuran di lokasi, sebagian warga yang tidak tahan dengan bujukan pihak SBI sudah menerima biaya ganti rugi untuk bangunan seadanya. “Kami sering didatangi petugas dan meminta kami untuk menerima pembayaran ganti rugi, tidak termasuk tanah karena ini tanah negara,” ujar seorang warga yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Warga itu menerima ganti rugi untuk rumahnya di atas tanah seluas 80 m2 senilai Rp 275 juta. Hingga saat ini sudah sekitar puluhan warga yang menerima nasib secara tak berdaya seperti itu. Selain tidak mau membuang waktu, kebanyakan dari mereka mengeluh tidak memiliki biaya untuk membayar pengacara.
Selanjutnya perjuangan dan perlawanan warga Cipinang Melayu dilanjutkan proses hukumnya oleh Kuasa Hukum Farasil Syarief, SH. MH, Mintarno, SH. dan S. Santoso, SH.MM memperjuangkan hak rakyat kecil yang selama ini belum dirasakan. (Red)
***