Tangerang Selatan | Citranewsindonesia.com – Bayangkan suatu tempat di mana air yang jernih seperti kristal bersatu dengan lanskap hijau subur, dihiasi oleh terumbu karang yang melimpah dan kehidupan laut yang berwarna-warni. Selamat datang di kepulauan Palau yang menakjubkan, sebuah destinasi terpencil yang dikenal karena kecantikan alamnya dan sering disebut sebagai “Serengeti bawah laut” karena keanekaragaman laut yang memukau.
Dilansir dari channelnewsasia.com, hingga saat ini perjalanan ke Palau dari Singapura memerlukan upaya ekstra dengan setidaknya dua kali transit. Namun, dengan diluncurkannya penerbangan langsung baru antara Singapura dan Koror, Palau, segalanya berubah. Mengunjungi destinasi ini sekarang hanya memerlukan perjalanan lima jam dengan pesawat.
Alii Palau Airlines dan Changi Airport Group baru-baru ini mengumumkan rute baru yang menghubungkan Singapura dan Koror secara langsung. Penerbangan ini akan dioperasikan oleh Royal Bhutan Airlines (Drukair), maskapai nasional Pemerintah Kerajaan Bhutan.
“Alii Palau Airlines dengan gembira mempersembahkan era baru kenyamanan melalui penerbangan langsung kami, membuka pintu menuju surga dengan efektif. Kami sangat yakin bahwa rute baru ini akan membawa perubahan besar bagi mereka yang sebelumnya terkendala oleh durasi penerbangan yang panjang,” kata Managing Partner Alii Palau Airlines, Akanksha Johri.
“Dengan rute non-stop kami dari Singapura ke Palau, surga alami ini dapat diakses dengan mudah dari seluruh penjuru dunia, difasilitasi oleh konektivitas tak tertandingi dari Bandara Changi Singapura,” lanjutnya.
Pesawat Airbus A320neo milik Drukair yang dilengkapi dengan 120 kursi kelas ekonomi dan 20 kursi kelas bisnis akan terbang dari Bhutan menuju Bandara Changi kemudian melanjutkan perjalanan ke Palau. Penerbangan komersial perdana ini dimulai pada 23 November dan akan dijadwalkan beroperasi sekali seminggu pada hari Kamis hingga 20 Desember. Mulai tanggal 21 Desember, frekuensi penerbangan akan ditingkatkan menjadi dua kali seminggu, yaitu pada hari Kamis dan Minggu.
Palau yang terletak di Pasifik barat terdiri dari sekitar 340 pulau, pulau kecil, dan atol dengan hanya delapan pulau yang dihuni. Dengan populasi sekitar 18.000 penduduk, negara ini sangat serius dalam menjaga kelestarian lingkungan alamnya. Sebagai contoh, pada tahun 2020 Palau mencatat sejarah sebagai negara pertama yang melarang penggunaan tabir surya yang diketahui atau dicurigai dapat merusak terumbu karang, hanya memperbolehkan tabir surya mineral yang mengandung eksklusif seng oksida dan/atau titanium dioksida sebagai bahan aktifnya.
Bagaimanapun, negara kepulauan ini terletak di pertemuan tiga arus laut besar, menciptakan lingkungan yang kaya nutrisi di mana kehidupan laut berkembang dengan subur, termasuk penyu, hiu, pari manta, dan berbagai jenis ikan. Diperkirakan bahwa jumlah spesies karang di Palau sekitar empat kali lipat lebih banyak daripada yang ada di Karibia.
Beberapa resor mewah di Palau mencakup Palau Royal Resort dan Cove Resort Palau. Para penyelam juga dapat menikmati pengaturan liveaboard di kapal untuk mempermudah akses ke lokasi penyelaman. Sebagai contoh, Four Seasons Explorer adalah kapal katamaran yang mengklaim dirinya sebagai resor mewah terapung dengan berbagai rute pelayaran untuk memberikan fleksibilitas maksimum.
Salah satu destinasi utama di Palau adalah Rock Islands, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO yang terdiri dari beberapa ratus formasi batu kapur. Tempat ini menjadi rumah bagi beberapa kehidupan laut paling melimpah di dunia, menjadikannya tujuan impian bagi penyelam scuba.
Manajer umum agen perjalanan SoulTrips.co Francis Lee mengatakan wisatawan sudah menunjukkan minat terhadap Palau sebagai destinasi liburan berikutnya.
“Penerbangan langsung baru dari Singapura ke Palau jelas merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh sekitar 200.000 penyelam di Singapura dan kami telah melihat banyaknya pertanyaan sejak pengumuman tersebut,” jelasnya.
“Rute baru dari Singapura ke Palau ini bukan hanya sekedar kenyamanan. Namun, juga prospek menemukan permata yang belum terjamah di Samudra Pasifik, sebuah peluang bagi wisatawan untuk memulai perjalanan transformatif yang autentik,” lanjutnya.
(Adinda Maisya) – UIN Jakarta
Kontributor